Minggu, 07 Oktober 2012

Beda Hadiah dengan Hibah

. Minggu, 07 Oktober 2012
0 komentar

Dalam syariat Islam, terdapat banyak istilah syar'i yang telah didefiniskan oleh para ulama. Mereka berusaha agar antara istilah satu dengan istilah yang lainnya tidak saling berbenturan makna-maknanya dan definisi tersebut benar-benar mencakup makna yang sempurna, tidak menimbulkan distorsi dari pengertian yang dimaksud, dan tidak bertabrakan dengan makna istilah lainnya, atau sering diistilahkan dengan definisi yang jaami' dan maani'.

Diantara istilah-istilah syariat yang sering digunakan di masyarakat adalah istilah sedekah, hadiah, dan hibah. Ketiga istilah ini adalah kata yang menunjukkan aktivitas memberi. Namun, karena tidak dipahami maknanya dan dimana letak perbedaannya, orang sering menyebut setiap pemberian dengan sedekah. Tentu saja penggunaan ini tidak tepat, selain merancukan istilah syariat, penggunaan demikian juga bisa mengandung konsekuensi yang berbeda-beda.

Ibnu Utsaimin mengatakan, "Sedekah adalah pemberian yang orientasinya adalah akhirat alias pahala dan ganjaran di akhirat. Sedangkan hadiah adalah pemberian yang tujuannya adalah meraih simpati dan rasa suka pihak yang diberi kepada pihak yang memberi.

Adapun hibah adalah pemberian yang tujuannya adalah memberi manfaat kepada pihak yang diberi dengan “menutup mata” apakah akan mendapatkan pahala di akhirat ataukah tidak dan apakah akan mendapatkan simpati dari pihak yang diberi ataukah tidak." (Ibnu Utsaimin dalam Ta'liq beliau untuk al-Qawaid wal Ushul al-Jamiah karya Ibnu Sa'di Hal. 92 terbitan Yayasan Sosial Ibnu Utsaimin cet pertama 1430 H).

http://pengusahamuslim.com/beda-hadiah-dengan-1686

Rabu, 12 Oktober 2011

Beramal Sebanyak Mungkin Atau Beriman Sebelum Beramal?

. Rabu, 12 Oktober 2011
0 komentar


Di dalam Al-Qur’an seringkali Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa Allah سبحانه و تعالى pasti membalas seorang hamba sebagai ganjaran atas amal-perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan apapun, apakah berupa sebuah amal baik maupun amal buruk, kedua-duanya pasti bakal diberi ganjaran oleh Allah سبحانه و تعالى .

أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيها جَزَاءً بِما كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Ahqaf 14)

فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS At-Taubah 95)

Di dalam surah Al-Ahqaf 14 Allah سبحانه و تعالى gambarkan balasan atas amal-perbuatan baik yang mengantarkan pelakunya ke dalam surga. Semoga kita termasuk ke dalam golongan tersebut. Sedangkan di dalam surah At-Taubah 95 justeru sebaliknya, Allah سبحانه و تعالى gambarkan mereka yang berbuat amal-perbuatan buruk sehingga pelakunya diganjar dengan neraka Jahannam. Wa na’udzubillaahi min dzaalika.

Jadi jelas sekali betapa pentingnya pilihan jenis amal-perbuatan apa yang dilakukan seseorang sehingga ia berhak menerima balasan seperti apa dari Allah سبحانه و تعالى . Maka alangkah naifnya bila ada seorang yang mengaku muslim lalu ia tidak pernah merenungkan jenis amal apa yang ia pilih, yang penting menurutnya adalah banyaknya amal. Lalu dia berusaha mengisi waktunya dengan sebanyak mungkin amal. Lebih jauh lagi dia bahkan memandang remeh orang lain yang dinilainya tidak banyak beramal. Sehingga dengan mudah dia menstempel orang lain yang tidak sibuk beramal seperti dirinya sebagai orang-orang yang hanya NATO (no action, talk only). Padahal Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita bahwa ada sementara manusia di dunia ini yang mengira bahwa dirinya sudah banyak berbuat kebaikan namun ternayata di dalam pandangan Allah سبحانه و تعالى justeru mereka itulah orang-orang yang paling merugi.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالاالَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi 103-104)
Apakah faktor yang menyebabkan perbuatan yang mereka sangka baik itu justeru ternyata di mata Allah سبحانه و تعالى adalah sia-sia dalam kehidupan di dunia? Lihatlah penjelasan Allah سبحانه و تعالى pada ayat berikutnya:

أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًاذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا

“Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia (Allah). Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS Al-Kahfi 105-106)

Merekalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia (Allah). Inilah sebabnya..! Jadi, sebabnya terkait dengan masalah yang lebih fundamental daripada urusan beramal, berbuat maupun bekerja. Urusannya terkait dengan hadir-tidaknya iman di dalam dirinya. Iman terhadap ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى dan iman terhadap perjumpaan dengan Allah سبحانه و تعالى di hari berbangkit kelak. Barangsiapa yang imannya tidak hadir atau tidak sah, maka berarti ia kafir. Dan kekafiran inilah yang menghapus semua amal kebaikan yang disangka pelakunya bahwa dia telah berbuat sebaik-baiknya.

Iman merupakan prasyarat agar amal apapun yang dipilih seseorang mendatangkan ganjaran kebaikan dari Allah سبحانه و تعالى . Tidak hadirnya iman atau tidak sahnya iman seseorang bakal menghapuskan nilai amal apapun yang telah dikerjakannya. Betapapun banyaknya amal orang itu, namun jika tidak dilandasi oleh hadirnya iman yang benar, maka niscaya merugilah orang itu kelak di akhirat. Sehingga Allah سبحانه و تعالى berfirman: Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Alangkah ruginya dia..! Bayangkan, amal yang banyak itu dihapus oleh Allah سبحانه و تعالى . Tidak mendapatkan penilaian atau pengakuan dari Allah سبحانه و تعالى barang sedikitpun. Di tempat lainnya Allah سبحانه و تعالى berfirman mengenai amal kaum kafir itu:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS Al-Furqan 23)

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ

“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana.” (QS An-Nur 39)

Bahkan lebih jauh lagi Allah سبحانه و تعالى berfirman: Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. Orang-orang itu dipastikan Allah سبحانه و تعالى bakal dibalas dengan neraka Jahannam. Dan mereka diserupakan Allah سبحانه و تعالى dengan orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى dan rasul-rasulNya.

Saudaraku, sungguh kita harus waspada terhadap masalah ini walupun kita telah mengaku diri sebagai seorang muslim, seorang yang telah berikrar syahadatain, seorang yang menganggap diri termausuk kaum beriman. Sebab Allah سبحانه و تعالى bahkan menyatakan bahwa kebanyakan orang yang menganggap dirinya beriman kepada Allah سبحانه و تعالى ternyata terlibat dalam dosa syirik..!

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf 106)
Walau saat membahas ayat di atas Ibnu Katsir mengacu kepada kaum musyrikin Quraisy di kota Mekkah pada masa jahiliah, namun Sayyid Qutb di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an menulis:

Di sana ada juga syirik yang nyata dan tampak jelas. Yaitu ketundukan kepada selain Allah سبحانه و تعالى dalam salah satu perkara hidup, ketundukan kepada suatu hukum yang dijadikan keputusan dalam segala urusan, ketundukan terhadap adat seperti pesta-pesta dan festival-festival meriah yang tidak disyariatkan oleh Allah سبحانه و تعالى , ketundukan dalam pakaian dan seragam yang bertentangan dengan syariat Allah سبحانه و تعالى berkenaan dengan pembukaan aurat dimana nash memerintahkan untuk menutupnya.

Masalahnya, dalam perkara-perkara itu bisa melampaui batas kesalahan dan dosa karena penentangan, ketika hal itu merupakan wujud ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kepada adat suatu masyarakat yang dihormati padahal ia adalah bikinan manusia. Sementara itu, perintah Allah سبحانه و تعالى Rabb manusia yang jelas dan bersumber dari-Nya ditinggalkan dan diacuhkan. Pada saat itu perkara tersebut bukan lagi hanya dosa dan kesalahan, tapi sudah menjadi syirik. Karena hal itu merupakan ketundukan kepada selain Allah سبحانه و تعالى dalam perkara-perkara yang menentang perintah-Nya. Dari sudut ini, perkara menjadi sangat berbahaya.
Ayat di atas mengenai sasaran orang-orang yang dihadapi rasulullah صلى الله عليه و سلم di Jazirah Arab, dan mencakup sasaran orang-orang lainnya di setiap zaman dan setiap tempat. (Tafsir Fi Zhilalil Qur’an- jilid 7- Gema Insani- hlm 19)

Ketika Sayyid Qutb mengatakan “Pada saat itu perkara tersebut bukan lagi hanya dosa dan kesalahan, tapi sudah menjadi syirik”, maka kita yang hidup di era badai fitnah dewasa ini sepatutnya berhati-hati dan merasa khawatir. Sebab di dalam Sistem Dajjal begitu banyak –kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya- aturan dan hukum yang diberlakukan bukan bersumber dari hukum Allah سبحانه و تعالى melainkan hukum bikinan manusia. Dan Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa hukum di dunia ini hanya ada dua macam, hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum thaghut. Hukum Allah سبحانه و تعالى wajib ditegakkan dan ditaati, sedangkan hukum thaghut wajib diingkari dan dijauhi. Demikian firman Allah سبحانه و تعالى .

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 60)

Mengomentari ayat di atas Ibnu Katsir menulis:

Ini merupakan pengingkaran Allah سبحانه و تعالى terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan Allah سبحانه و تعالى kepada RasulNya dan kepada para nabi yang mendahului Nabi kita. Walaupun pengakuannya demikian, mereka tetap berhakim kepada selain Kitab dan Sunnah. Demikian pula ayat ini mencela orang yang berpindah dari hukum Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya kepada kebatilan selain keduanya, kebatilan itulah yang disebut thaghut di sini. Oleh karena itu Allah سبحانه و تعالى berfirman “Mereka hendak berhakim kepada thaghut”.(Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir-jilid 1-Gema Insani-hlm 742-743)

Dewasa ini hukum Allah سبحانه و تعالى tidak dimuliakan, disucikan dan ditinggikan. Yang dimuliakan adalah hukum bikinan manusia, aturan nenek-moyang, adat-istiadat setempat atau deklarasi hak asasi manusia dan sejenisnya. Apakah manusia modern mengira bahwa Allah سبحانه و تعالى tidak sanggup merumuskan hukum yang memenuhi rasa keadilan seluruh umat manusia? Sehingga mereka lebih memuliakan dan meyakini hukum produk manusia yang dinilai adil, up-to-date dan akomodatif untuk menyerap aspirasi aneka jenis manusia di muka bumi? Jika demikian adanya, sungguh keji logika manusia modern..! Mereka telah gagal menangkap tanda-tanda kebesaran Allah سبحانه و تعالى yang terus-menerus menjamin rezeki segenap makhluk, baik manusia maupun hewan di langit dan di bumi. Kok bisa mereka berprasangka bahwa Dzat yang seperti itu tidak sanggup merumuskan hukum yang adil? Sementara manusia yang tidak sanggup menjamin rezeki untuk dirinya sendiri saja kok malah diyakini produk hukumnya dapat memenuhi rasa keadilan segenap manusia..! Pantas Allah سبحانه و تعالى menantang manusia kafir itu dengan pertanyaan berikut:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)

Berarti, sudah jelaslah, bahwa kata kuncinya terletak pada kata-kata “bagi orang-orang yang yakin”. Jika sekedar mengandalkan pengakuan seseorang bahwa dirinya muslim atau beriman, maka ini tidak menjamin. Tetapi diperlukan pembuktian lebih lanjut. Pembuktian itulah yang menandakan hadir tidaknya keyakinan alias iman. Sah atau tidaknya iman. Maka jika kita kembali kepada pembahasan di awal mengenai “orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,” mereka adalah orang-orang yang boleh jadi secara lisan mengaku muslim atau mengaku beriman, tetapi sejatinya di mata Allah سبحانه و تعالى mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى .

Mereka adalah orang-orang yang hanya sibuk memperbanyak amal namun tidak merenungkan apakah tumpukan amalnya itu sudah benar-benar dilandasi iman yang sah atau tidak. Benarkah mereka telah menjadikan kalimat tauhid sebagai fondasi berbagai amal mereka? Atau mereka sesungguhnya tidak pernah peduli apakah ketika beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى mesti disertai pengingkaran kepada thaghut? Atau mereka mengira bahwa banyak beramal merupakan suatu perkara mulia yang pasti bakal mendatangkan kebaikan dari Allah سبحانه و تعالى walaupun amal itu berlandaskan penerimaan diri akan hukum thaghut? Sungguh jauh sekali prasangka mereka dari kebenaran yang Allah سبحانه و تعالى terangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu dalam ayat berikutnya Allah سبحانه و تعالى menegaskan bahwa orang-orang yang beramal sholeh dengan dilandasi iman yang benar sajalah yang bakal dijamin memasuki surga Firdaus-Nya. Orang-orang yang tidak saja sadar pentingnya beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى tetapi juga faham urgensi menjauhi dan mengingkari thaghut.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ
الْفِرْدَوْسِ نُزُلا خَالِدِينَ فِيهَا لا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.” (QS Al-Kahfi 106-107)

Saudaraku, beramal sholeh itu penting. Tetapi yang jauh lebih penting lagi adalah beriman yang benar sebelum beramal. Sebab bila iman sudah benar, maka sekecil dan sesedikit apapun amal seseorang, niscaya ia akan memperoleh balasan yang baik dan berlipat dari Allah سبحانه و تعالى di akhirat kelak. Namun sebaliknya, sebanyak apapun amal seseorang jika tidak dilandasi oleh iman yang benar, niscaya ia akan merugi di akhirat kelak. Sebab Allah سبحانه و تعالى tidak akan memberikan penilaian apapun atas amal yang tidak berlandaskan iman yang benar tadi.

Hidup di era penuh fitnah seperti saat ini banyak sekali ditemukan ancaman terhadap eksistensi iman yang benar. Tawaran untuk mengingkari Allah سبحانه و تعالى sangat banyak dan menggiurkan. Tawaran untuk berkompromi bahkan bekerjasama dengan thaghut sungguh sangat ramai dan menjanjikan keuntungan duniawi. Keadaan dunia dewasa ini sangat tepat digambarkan oleh hadits Nabi صلى الله عليه و سلم berikut ini:

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda: "Segeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia." (HR Muslim - 169) Shahih

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا لَا يَرْتَدُّ

“Ya Allah, aku meminta kepadamu keimanan yang tidak akan murtad.” (AHMAD - 4112)

http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/beramal-sebanyak-mungkin-atau-beriman-sebelum-beramal.htm

Kemiripan Politisi Sistem Jahiliyah Dengan Kaum Munafik

.
0 komentar


Islam merupakan ajaran yang komprehensif atau menyeluruh. Ajaran Allah سبحانه و تعالى ini mencakup segenap bidang kehidupan. Islam bukan ajaran yang hanya mengatur urusan peribadatan ritual semata. Ia merupakan ajaran yang meliputi aspek spiritual, intelektual dan operasional. Islam mencakup urusan dunia dan akhirat. Islam mencakup aspek aqidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah. Islam menata kehidupan pribadi maupun sosial. Islam menata urusan ideologi, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, militer, hukum dan pertahanan-keamanan. Dan segenap urusan tersebut bertumpu di atas fondasi keimanan yang kokoh, jelas dan tegas, yakni Tauhid atau kalimat لا إله إلا الله Tiada Ilah Selain Allah. Islam tidak rela ada satupun urusan dalam hidup yang tidak berlandaskan konsep aqidah tauhid. Sebab selain tauhid adalah syirik (mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى ). Tauhid adalah al-haq (kebenaran). Sedangkan di dalam Islam selain kebenaran yang ada hanyalah kebatilan alias kesesatan.

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ

"...maka tidak ada sesudah al-haq (kebenaran) itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yunus [10] : 32)

Suatu masyarakat yang tidak menjadikan tauhid sebagai landasan kehidupannya pasti hidup dalam kesesatan. Berbagai bidang kehidupan yang mereka geluti tidak akan menghasilkan kebaikan, bahkan hanya kezaliman-lah yang akan dihasilkan oleh masyarakat tersebut. Inilah masyarakat yang disebut masyarakat jahiliyah. Bukan masyarakat Islam. Walaupun di dalamnya terdapat populasi yang mayoritas mengaku muslim. Tetapi lantaran bukan tauhid yang dijadikan dasar di dalam kehidupannya maka masyarakat tersebut menjadi rapuh. Inilah yang digambarkan Allah سبحانه و تعالى di dalam KitabNya:

وَمَثلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ

“Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim [14] : 26)
Suatu masyarakat yang tidak berlandaskan kalimat tauhid menjadi masyarakat laksana pohon yang tercerabut dari akar-akarnya. Tidak akan dapat berdiri kokoh dan kuat. Sebaliknya, suatu masyarakat Islam yang benar-benar berdiri di atas fondasi kalimat Tauhid (kalimah thoyyibah/kalimat yang baik), pasti menjadi masyarakat yang bukan saja kokoh dan kuat, tetapi sekaligus produktif dan bermanfaat sepanjang masa.

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللّهُ الأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14] : 24-25)

Di dalam masyarakat jahiliyah berbagai aspek hidup berjalan dengan kacau dan tidak benar. Sebagai contohnya bidang politik. Di dalam perpolitikan sistem jahiliyah para aktifisnya berpolitik berlandaskan falsafah: “Tidak ada kawan maupun lawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.” Artinya, di dalam sistem jahiliyah para politisinya bergerak berlandaskan kepentingan. Bukan berdasarkan kemampuan membedakan antara al-haq (kebenaran) dan al-bathil (kebatilan). Sebab kebenaran dan kebatilan di dalam sistem politik jahiliyah merupakan suatu perkara yang relatif. Sangat tergantung dukungan mayoritas publik. Bila publik banyak yang mendukung, maka sesuatu dianggap benar. Sedangkan bilamana mayoritas publik menolak, maka sesuatu dianggap salah alias batil. Misalnya, baru-baru ini kita mendengar ada ungkapan seorang pejabat ketika membela lembaganya ia berkata: “Soal gagasan perlu-tidaknya lembaga kami dibubarkan, maka kita serahkan saja kepada masyarakat.”

Falsafah yang menjadi pegangan para politisi sistem jahiliyah menyebabkan ucapan dan perilakunya menjadi sangat mirip dengan gambaran Allah سبحانه و تعالى mengenai kaum munafik. Ketika Allah سبحانه و تعالى menggambarkan bagaimana sikap kaum munafik terhadap keputusan hukum yang diambil oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم , maka mereka memperlihatkan sikap ambivalen. Bilamana keputusan hukum Rasulullah صلى الله عليه و سلم dirasakan bermanfaat dan sesuai dengan kepentingan mereka, maka kaum munafik rela menerimanya. Namun bila keputusan hukum Rasulullah صلى الله عليه و سلم tidak sesuai dengan selera dan kepentingan mereka, maka kaum munafik akan pergi ke fihak lain untuk mencari keputusan hukum yang lebih menguntungkan kepentingan mereka.

وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُوْلَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ

Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh.” (QS. An-Nuur [24] : 47-49)


Oleh karenanya, para ulama muhaqiqin di zaman penuh fitnah dewasa ini cenderung menggambarkan kiprah para politisi sistem jahiliyah modern sebagai fihak yang hanya beda tipis dengan kaum munafik di zaman nabi صلى الله عليه و سلم . Padahal kaum munafik di zaman Nabi صلى الله عليه و سلم dahulu itu bersikap ambivalen terhadap hukum yang diputuskan Rasulullah صلى الله عليه و سلم . Sedangkan para politisi jahiliyah modern dewasa ini bersikap ambivalen terhadap berbagai keputusan politik dalam ruang lingkup hukum yang jelas-jelas bukan hukum Islam, bukan hukum Allah سبحانه و تعالى dan bukan hukum Rasulullah صلى الله عليه و سلم ....! Artinya, mereka mempersoalkan kepentingan mereka yang seluruhnya di luar lingkup hukum yang diridhai Allah سبحانه و تعالى alias hukum jahiliyah. Sebab Allah سبحانه و تعالى menyatakan dengan tegas dan jelas di dalam Kitab-Nya bahwa opsi hukum hanya ada dua: hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah. Tidak ada hukum Allah سبحانه و تعالى yang kejahiliyah-jahilyahan (wa na’udzubillahi min dzaalika) dan tidak ada hukum jahiliyah yang ke-Islam-Islam-an...! Dengan tegas Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa jika bukan hukum Allah سبحانه و تعالى yang dikehendaki manusia, berarti mereka menghendaki hukum jahiliyah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al-Maidah [5] : 50)
Memang, hanya orang-orang yang memiliki keyakinan yang mantap sajalah yang dapat tunduk dan patuh kepada hukum Allah سبحانه و تعالى . Adapun kaum munafik akan senantiasa berada di dalam keraguan akan kebenaran dan keadilan hukum Allah سبحانه و تعالى . Sampai-sampai Allah سبحانه و تعالى menguraikan adanya tiga kemungkinan sebab kaum munafik menolak hukum Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم .
أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَن يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Apakah (ketidak-datangan mereka untuk tunduk kepada hukum Rasulullah صلى الله عليه و سلم karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. An-Nuur [24] : 50)

Kemungkinan kaum munafik menolak hukum Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم ialah karena: (1) ada penyakit di dalam hati; atau (2) ada keraguan akan kebenaran dan keadilan hukum tersebut atau (3) berprasangka-buruk kepada Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم dan khawatir kalau hukum tersebut akan menzalimi mereka.

Di dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir beliau menulis: “Persoalan kaum munafik berkutat pada adanya penyakit yang bercokol di dalam hatinya, atau adanya keraguan hatinya terhadap agama, atau mereka khawatir Allah dan Rasul-Nya akan menzalimi keputusan mereka. Alternatif manapun yang ada, maka hal itu merupakan kekafiran semata. Allah Maha Mengetahui setiap individu munafik dan sifat-sifat yang ada di dalam hatinya itu.”

Kaum munafik itulah orang-orang yang zalim. Sedangkan Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم bebas dari tuduhan zalim yang mereka lemparkan itu.

Sedangkan di dalam kitabnya Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb menulis dalam kaitan dengan surah An-Nuur ayat 50 sebagai berikut:
Setiap hukum selain hukum Allah pasti bisa diduga mengandung kezaliman. Manusia tidak mungkin menguasai dirinya. Ketika mereka menghukum, pasti mereka menghukum dengan hukuman yang memihak kepada kepentingan dan maslahat mereka, baik individu, komunitas maupun bangsa.
Bila seseorang mnghukum dengan suatu hukum, maka dia pasti memperhatikan penjagaan akan dirinya sendiri dan pemeliharaan terhadap maslahatnya. Demikian juga ketika suatu komunitas merumuskan hukum bagi komunitas lain, atau suatu negara merumuskan hukum untuk negara lain. Sedangkan ketika Allah mensyariatkan suatu hukum, maka tidak ada pertimbangan maslahat dan pemeliharaan pada fihak manapun. Oleh karenanya, hukum-Nya mutlak adil. Keadilan itu tidak mungkin dipikul oleh selain syariat Allah, dan tidak mungkin merealisasikannya selain hukum Allah.
Oleh karena itu, orang yang tidak rela dihukum dengan hukum Allah dan Rasulullah, merekalah orang-orang yang zalim. Mereka tidak menginginkan keadilan itu tegak dan tidak menginginkan kebenaran itu jaya. Sehingga, pada hakikatnya mereka tidak khawatir terhadap penyimpangan dalam hukum Allah dan sama sekali tidak meragukan keadilannya. Tetapi,... “sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Tidakkah mirip apa-apa yang menjadi kemungkinan sebab penolakan kaum munafik terhadap hukum Allah سبحانه و تعالى dan Rasulullah صلى الله عليه و سلم dengan penolakan para politisi sistem jahiliyah di abad modern dewasa ini?

 وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُوداً

“Apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul', niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa [4] : 61)

http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/kemiripan-politisi-sistem-jahiliyah-dengan-kaum-munafik.htm

Selasa, 11 Oktober 2011

Akibat Makan dan Minum Sambil Berdiri Menurut Islam dan Ilmiah

. Selasa, 11 Oktober 2011
0 komentar

Orang tua sering melarang kita makan dan minum sambil berdiri. Mungkin kedengarannya seperti nasihat biasa saja, tapi ternyata hal itu ada benarnya dan dapat dibuktikan dari segi agama maupun kesehatan. Mau tahu?

Anda merasa sudah melakukan diet dengan benar tapi berat badan belum berkurang juga? Mungkin ada yang salah dengan cara makan Anda. Kebiasaan makan sambil berdiri bisa jadi salah satu penyebab mengapa Anda tidak kurus-kurus.Jangan makan sambil berdiri Di zaman yang serba cepat ini, makan bukanlah kegiatan yang spesial lagi.

Dahulu, orang-orang selalu makan dalam keadaan duduk untuk menghargai berkah yang diberikan sang pencipta. Namun kini, makan sambil berdiri bahkan berjalan sudah jadi hal yang lumrah. Secara ilmiah, makan sambil duduk dan tetap pada satu tempat membuat otak tidak akan memikirkan makanan lain selain yang ada di hadapannya saat itu. Hal itu karena tubuh akan memberikan sinyal pada otak untuk tidak perlu mencicipi makanan lainnya dan fokus pada satu makanan ketika sedang duduk, dan hal itu membuat Anda lebih sedikit memasukkan kalori dalam tubuh.

Mengapa Rasulullah melarang ummatnya minum berdiri. Dalam hadist disebutkan “janganlah kamu minum sambil berdiri” Ini dibuktikan dari segi kesehatan. Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada ‘pos-pos’ penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri. Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disaluran ureter.

Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penya kit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya.



Dari Anas r.a. dari Nabi saw.: "Bahwa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri. Qatadah berkata, "Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa itu lebih buruk."

Pada saat duduk, apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan.

Adapun rasulullah saw pernah sekali minum sambil berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan. Ingat hanya sekali karena darurat! Manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna.

Ini merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, di mana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat. Makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus.

Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (vagal inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak. Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus-menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung.

Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokkan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum. Dari segi kesehatan.

Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringter. Sfringter adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri.

Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disalurkan ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya. Diriwayatkan ketika Rasulullah s.a.w.

dirumah Aisyah r.a. sedang makan daging yang dikeringkan diatas talam sambil duduk bertekuk lutut, tiba-tiba masuk seorang perempuan yang keji mulut melihat Rasulullah s.a.w. duduk sedemikian itu lalu berkata: "Lihatlah orang itu duduk seperti budak." Maka dijawab oleh Rasulullah s.a.w.: "Saya seorang hamba, maka duduk seperti duduk budak dan makan seperti makan budak." Lalu Rasulullah s.a.w. mempersilakan wanita itu untuk makan. Adapun duduk bertelekan (bersandar kepada sesuatu) telah dilarang oleh Rasulullah sebagaimana sabdanya, "Sesungguhnya Aku tidak makan secara bertelekan" (HR Bukhar).

Jumat, 07 Oktober 2011

Ketika Wanita Modern Menjadi Berani dan Agresif Terhadap Lelaki

. Jumat, 07 Oktober 2011
0 komentar



Ibunya Imran memicingkan mata saat melihat kawan-kawan wanita anaknya melambaikan tangan dan bersikap ramah serta ceria kepada anak lelakinya.Imran yang pada sore Ahad yang cerah mengajak Ibunya ke supermarket itu kebetulan berpapasan dengan sekumpulan rekan wanita dan lelaki yang dimata Ibunya Imran, wanita-wanita itu terlihat terlalu lincah dan mesra.Hal itu lantas membuat Ibunya Imran yang sudah beranjak tua itu menjadi gelisah serta tidak nyaman, maka Ibu itu merasa risih.

“Zaman Ibu dulu, tidak ada anak gadis yang dengan kawan lelakinya begitu mesra dan akrab, apalagi dengan kamu saja yang hanya kawan begitu mesra, bagaimana dengan kekasihnya yaa..? kok mereka begitu berani terhadap lelaki..?” gumam Ibu bingung kepada Imran.

Lantas Imran pun menjawab, “Ah Ibu, zaman sekarang beda dengan zaman dahulu, kalau kawan-kawan Imran lincah karena memang hampir semua anak gadis di kota besar lincah dan menarik Bu, kalau tidak begitu bukan anak gadis namanya, nenek-nenek dong..” Gurauan Imran itu pun lantas membuat wajah Ibunya nampak heran.

Tidak lama kemudian Imran paham lalu menyergahnya dengan mengatakan, “Bahkan kawan-kawan Imran yang anak gaul, kalo mau berpisah pada cipika-cipiki, lelaki sama perempuan Bu, cuma Imran saja yang tidak ikut pergaulan yang seperti itu..” Lalu dengan wajah kebingungan Ibu berkata, “Apa itu cipika-cipiki?”

Ibunya Imran memang sudah lama tidak melihat kawan-kawannya Imran. Biasanya Imran membawa kawan-kawannya ke rumah namun semuanya lelaki. Baru sekali ini Ibu melihat bagaimana bebasnya dan beraninya pergaulan anak perempuan dengan anak lelaki di kota besar.

Saat ini Imran memang sudah kuliah tingkat 2 dan sebelumnya Ibu melihat kawan-kawan Imran di sekolah menengah dahulu biasa-biasa saja, tidak begitu akrab dan mesra serta berani dengan lelaki. Hal ini mungkin dikarenakan Imran sebelumnya lulus dari SMP dan SMA di pesantren sehingga adab-adab pergaulan sangat dijaga sehingga Ibu terperangah ketika Imran menjelaskan bahwa cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri) sangat biasa di lingkungan kampus Imran.

Dalam hatinya Ibu berpikir, “kalau dulu cipika-cipiki hanya perempuan dengan perempuan saja, namun sekarang perempuan dengan lelaki.”

‘Dekat’, ‘merasa dekat’, ‘sudah seperti saudara sendiri’, ‘jangan telalu berlebihan’, ‘ah gak ada perasaan apa-apa kok’, ‘ah gak ada yang mikirin’, ‘dimana-mana begitu kok’, ‘orang gak ada apa-apa’, itulah ungkapan-ungkapan yang sering diucapkan oleh anak-anak muda zaman sekarang yang memiliki pergaulan sangat dekat dan akrab antara lelaki dengan perempuan.

Padahal mereka jelas-jelas bukanlah muhrim namun mereka tertawa bersama seperti saudara sendiri, makan dan minum dari piring dan gelas yang sama bahkan terkadang satu gelas diminum dari sedotan yang sama antara kawan lelaki dengan kawan perempuan.

Dalam pergaulannya, mereka itu bukan saudara, tidak pacaran, apalagi suami istri namun mereka mengaku bahwa itu adalah bagian dari cara pergaulan modern saat ini. Padahal jelas-jelas kedekatan seperti itu antara kawan lelaki dan kawan perempuan sungguh tidak dapat dibenarkan dalam islam.

Ada adab-adab pergaulan yang harus dijaga antara lelaki dan perempuan. Namun itu semua sudah longgar dimana di jaman modern seperti saat ini, kaum wanita merasa bebas untuk tertawa, duduk berdekatan dengan lelaki, minum dan makan bersama dengan kaum lelaki padahal dalam Islam dilarang untuk ikhtilat (bercampur).

Seringkali orang-orang yang merasa bahwa adab-adab pergaulan di dalam Islam tersebut sebagai suatu yang berlebihan, menanyakan tentang ayatnya mana? Menanyakan mana dalilnya tentang hijab tentang ikhtilat dan lain-lain.

Sungguh bila mereka mempelajari dan memikirkan sedikit, mengapa kaum wanita ketika sholat selalu ada dalam barisan belakang, hal ini agar lelaki dan wanita tidak bercampur. Maka cukuplah itu sebagai jawaban bahwasanya semua kaum wanita harus memisahkan diri dalam kegiatan apapun dengan kaum lelaki. Dan bila melihat bahwa dalam Al-Quran dikatakan bahwa; hidup ini adalah ibadah, (merujuk pada surah Adz Dzariyaat ayat 56 yang berbunyi ,“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat [51] : 56)

Maka dalam keadaan tidak sedang sholat pun seharusnya semua yang dilakukan bernilai ibadah termasuk pemisahan yang jelas antara perempuan dengan lelaki karena ketahuilah bahwasanya hal itu dapat menghindari fitnah dan dapat memuliakan wanita.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaknya mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya'.” (QS.An-Nur [24] : 30)

Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya'.” (QS. An-Nur [24] : 31)

http://www.eramuslim.com/akhwat/wanita-bicara/ketika-wanita-modern-menjadi-berani-dan-agresif-terhadap-lelaki.htm

Senin, 03 Oktober 2011

Kehidupan Suami Istri Bukan Sekedar 1+1=2

. Senin, 03 Oktober 2011
0 komentar

Oleh Novita Aryani M.Noer, ibu rumah tangga tinggal di Bogor
Untaian cinta dan kasih sayang antara suami-istri adalah untaian cinta dan kasih yang didasarkan atas prinsip persahabatan yang saling mengerti, memahami, saling mendukung dan penuh keakraban. Bukan sebaliknya yaitu kedekatan formalistik yang kering dari untaian cinta kasih sayang dan empati. Seperti inilah apa yang selalu kita dengar dan baca bagaimana indahnya merajut kehidupan suami-istri yang aman dan penuh ketentraman dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Namun kita saksikan pada saat sekarang ini, umat Islam hidup dalam masa yang paling hitam. Kapitalisme yang diterapkan di negeri-negeri dimana kita hidup telah menimbulkan ketimpangan dan kesulitan yang memasung tiada henti hingga melilit keluarga-keluarga Muslim.
Ragam ujian akhirnya kian menderas menimpa kehidupan suami-istri. Selisih pendapat dalam memilih dimana akan menetap, berinteraksi terhadap orang tua suami (mertua), atau hubungan antara wanita (istri) dengan kedua orang tuanya, atau berkunjung ke kerabat suaminya. Selisih pendapat antara suami isteri terus berlangsung bahwa ini adalah haknya atau ini adalah hak pasangannya, dan yang itu adalah kewajibannya atau kewajiban pasangannya. Masing-masing dari keduanya berpegang dengan pandangannya dengan dugaan bahwa itu adalah hak menurut hukum-hukum syara’ yang tidak boleh suami dan atau istri tinggalkan.
Kehidupan Suami Istri Bukanlah Angka-Angka Mati 1 + 1 = 2
Kehidupan rumah tangga antara suami-istri merupakan wadah kehidupan cinta dan kasih sayang, ketenteraman dan ketenangan. Untuk mengetahui bagaimana menjadikan kehidupan suami istri sebagai kehidupan cinta dan kasih sayang, ketahuilah Allah Swt. berfirman:

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir," (QS ar-Rum [30]: 21).
Bagi suami Rasulullah Saw. berpesan dalam hadisnya. Dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
"Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku," (HR Tirmidzi dan Ibn Majah).
Kepada para istri Rasulullah Saw. juga mengingatkan dalam sebuah hadisnya. Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Saw., Beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada seseorang yang lain niscaya aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya," (HR Tirmidzi).
Sekali lagi, suami istri harus memahami bahwa hubungan suami istri bukanlah bersifat kaku, seperti hitungan matematika 1 + 1 = 2. Akan tetapi kehidupan suami istri itu adalah ketentraman dan ketenangan, cinta dan saling percaya. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt.:
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang," (QS ar-Rum [30]: 21).
Sebagai seorang istri ia wajib mentaati suaminya dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati suaminya, meski harus mengorbankan istirahat atau kesenangannya sendiri. Tidak ada wanita yang ‘waras’ yang mengatakan kepada suaminya, “Saya wajib menaatimu, tetapi tidak ada hubungan bagiku dengan kedua orang tuamu."
Sebab, orang yang waras memahami bahwa kebaikan (ihsan)nya kepada kedua orang tua suaminya adalah pembangkit kebahagiaan bagi suami yang ia diperintahkan untuk memasukkan kebahagiaan itu ke dalam hatinya. Rasulullah Saw. bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
"Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang mukmin setelah ketakwaan kepada Allah kecuali istri yang salehah, jika ia suruh maka istrinya menaatinya, jika ia pandang istrinya menyenangkannya dan jika ia menetapkan bagian untuknya istrinya berbuat baik kepadanya dan jika ia tidak ada di samping istrinya, maka istrinya menasehatinya dalam hal diri dan hartanya," (HR Ibn Majah dari Abu Umamah r.a.).
Abu Dawud juga mengeluarkan hadis dari Ibn Abbas semisal hadis tersebut. Suami harus baik dalam memperlakukan istrinya dan baik dalam bergaul dengannya.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak," (QS an-Nisa [4]: 19).
Memelihara Hubungan Silaturahim dengan Orang Tua dan Kerabat
Suami harus memberikan apa yang menjadi hak istrinya berupa pergaulan yang baik. Dan pada saat yang sama ia memberikan hak kedua orang tuanya yang telah diwajibkan kepadanya dan telah ditetapkan Allah menjadi hak kedua orang tuanya, tanpa melalaikan kebaikan dalam bergaul dengan istrinya dan dalam hal kewajiban kedua orangtuanya. Allah Swt. berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya," (QS al-Isra’ [17]: 23).
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
"Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknyam," (QS al-‘Ankabut [29]: 8.).
Ibn Mas’ud r.a. berkata:
«سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku bertanya kepada Rasulullah Saw., aku katakan: amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku katakan: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”. Aku katakan: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah” (HR al-Bukhari).
Tidak ada seorang pun laki-laki ‘waras’ yang melarang istrinya memelihara hubungan dengan kedua orang tuanya dan kerabatnya, memuliakan keluarganya, dan melanggengkan hubungan dengan mereka dengan baik.
Dan dalam hal itu terdapat penguatan bagi cairnya pergaulan dan kelanggengan kebaikan pergaulan suami istri. Allah Swt. telah mengaitkan penyatuan melalui nasab dalam cakupan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi manusia agar mereka merenungkannya. Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلاً…
"Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu," (QS al-Furqan [25]: 45).
Sampai firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُورًا * وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
"Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa," (QS al-Furqan [25]: 53-54).
Dikaitkannya nasab dan peleburan dalam cakupan tanda-tanda kekuasaan Allah maka disitu terdapat dalalah (konotasi) bahwa bagi masing-masing dari keduanya harus ada respect dan penghormatan, dan bahwa masing-masing dari keduanya merupakan obyek perenungan dan kontemplasi dalam hal keagungan dan kekuasaan al-Khaliq.
Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Abu Ayub al-Anshari menuturkan, ”Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw., ”Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah menjawab:
”Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi,” (HR al-Bukhari).
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan menggantarkan pelakunya masuk surga, merupakan qarinah jazim (indikasi yang tegas). Oleh karenanya, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram.
Suami haram melarang istrinya bersilaturahim kepada kedua orang tuanya. Sebab silaturahim kepada kedua orang tua adalah wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan, bukan hanya wajib bagi laki-laki saja. Sebab seruan itu bersifat umum untuk laki-laki maupun perempuan. Rasul Saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (silaturrahim)," (HR Muslim dari jalur Jubair binMuth’im).
Qâthi’ rahimin nakirah dalam konteks penafian “lâ yadkhulu” maka itu merupakan lafazh umum. Artinya mencakup laki-laki dan perempuan. Atas dasar itu maka sebagaimana shilaturrahim seorang laki-laki kepada kedua orang tuanya adalah wajib, maka demikian pula silaturahim seorang wanita kepada kedua orang tuanya juga adalah wajib. Karena itu, jika suami melarang istrinya melakukan silaturrahim dengan kedua orang tuanya, maka dia berdosa.
Jadi suami harus mempermudah hubungan antara wanita (isteri) dengan kedua orang tuanya, dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan perhatian istri terhadap suami dan rumahnya. Dan hal itu adalah perkara mudah bagi para suami yang berakal ’waras’, bertakwa lagi bersih.
Dalam memenuhi ketentuan hukum silaturahmi tersebut, hendaklah dikatahui batasan siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin. Ibn Hajar al-’Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, ”Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram.
Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, kerabat (al-arham) terdiri dari dua kelompok. Pertama adalah orang-orang yang mungkin mewarisi harta peninggalan seseorang. Mereka terdiri dari orang yang telah ditentukan bagiannya oleh syariat (ashab al-furudh) dan orang yang berhak mendapat sisa bagian harta (’ashabah).
Kedua adalah mereka yang termasuk ulu al-arham, yang terdiri dari sepuluh orang (bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek dari ibu, putra anak perempuan, putra dari saudara perempuan, putri dari saudara laki-laki, putri dari paman dari pihak ayah dan ibu, paman dari ibu, putra saudara laki-laki seibu, dan siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka).
Hubungan selain mereka tidak dapat dikatakan sebagai silaturahmi, tersebab tidak terpenuhinya adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan sesama Muslim selain mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah (silah al-ukhuwah), bukan silaturahmi.
Berkenaan dengan Masalah al-Hamwu
Begitu pula hendaknya wanita (istri) mengetahui batasan dalam masalah al-hamwu dan bahwa itu adalah kematian sebagaimana dinyatakan di dalam hadis Rasul Saw. yang dikeluarkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhilah oleh kalian masuk menemui wanita”, lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata: “ya Rasululah bagaimana pandangan Anda tentang al-Hamwu?” Rasul menjawab: “al-hamwu adalah kematian”
Ini jika wanita itu tidak disertai suami atau mahram. Tidak lain itu adalah khalwat bersama al-hamwu.
Al-hamwu adalah kerabat suami yang bukan merupakan mahram istri yaitu saudara laki-laki dan sepupu laki-laki suami. Sedangkan bapaknya suami (mertua laki-laki), meski secara bahasa termasuk al-hamwu akan tetapi ia tidak termasuk di dalam hadits tersebut, sebab ia termasuk mahram bagi istri.
Dan masuknya al-hamwu menemui wanita dalam bentuk khalwat adalah laksana maut yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, merupakan ungkapan superlatif tentang keharamannya.
Adapun bila disertai adanya suami atau mahram bagi wanita, maka (masuk menemui wanita itu) tidak ada masalah dalam hal yang diperbolehkan oleh syara’ seperti silaturahim, dan pertemuan untuk makan bersama. Yang dilarang adalah khalwat. Ibn Hajar mengatakan di dalam Fath al-Bârî ketika menjelaskan hadits tersebut:
“Perkataan orang itu (bagaimana pandangan Anda tentang al-hamwu), Ibn Wahbin menambahkan di dalam riwayatnya menurut imam Muslim “Aku mendengar al-Laits mengatakan al-Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang mirip seperti itu diantara kerabat suami yaitu sepupunya dan semisalnya.
Dan di dalam sunan at-Tirmidzi setelah mentakhrij hadits tersebut, at-Tirmidzi berkata: dikatakan bahwa al-hamwu itu adalah saudara laki-laki suami … Ia berkata: “Makna hadits seperti yang diriwayatkan adalah tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiga adalah setan.”
Yang mirip seperti ini adalah hadis al-mughîbât yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari Jabir dari Nabi Saw., Beliau bersabda:
لَا تَلِجُوا عَلَى الْمُغِيبَاتِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ أَحَدِكُمْ مَجْرَى الدَّمِ
Janganlah kalian menemui al-mughîbât karena setan itu berjalan di dalam diri salah seorang dari kalian melalui aliran darah
Al-mughîbah adalah wanita yang suaminya sedang tidak ada. Al-mughîbât adalah bentuk plural dari al-mughîbah.
Jadi masalah al-hamwu dan larangan menemuinya adalah ketika itu dalam bentuk khalwat yaitu tidak ada suami atau mahram bersama wanita itu. Begitu pula masuk menemui wanita yang suaminya sedang tidak ada. Jadi masalahnya adalah tentag khalwat.
Adapun dengan adanya suami atau mahram, maka wanita boleh saja mengunjungi kerabat suaminya. Penguatan hubungan antara seseorang dengan keluarga istrinya dan hubungan antara wanita dengan keluarga suaminya semua itu adalah boleh selama berlangsung sesuai hukum-hukum syara’.
Bersama Realisasikan Kehidupan yang Mulia
Sebagai suami, senantiasa membawa dirinya dan keluarganya untuk beribadah kepada Allah dan shalat. Dan janganlah hanya concern dengan masalah rezki dan penghidupan. Kami yang memberi rezki kepadamu dan Kami tidak minta kamu untuk memberi rezeki kepada diri kamu sendiri dan keluargamu.
Maka konsentrasilah atas ketaatan kepada Allah dan perintahkan keluargamu dengan itu. Dan ketahuilah bahwa kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Imam Malik meriwayatkan di al-Muwatha’ dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, bahwa Umar ibn al-Khaththab shalat malam, masya Allah, hingga jika di akhir malam Umar membangunkan keluarganya untuk melaksanakan shalat, Umar berkata kepada mereka: “Shalat, shalat, kemudian Umar membaca ayat ini:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa," (QS Thaha [20]: 132).
Allah Swt. telah menyebutkan di dalam ayat ini “wa [i]shthabir ‘alayhâ –bersabarlah kamu dalam mengerjakannya-“. Ungkapan ini memiliki konotasi lebih dari ungkapan “ishbir ‘alayhâ” karena tambahan dalam hal “susunan huruf” menunjukkan tambahan dalam hal makna.
Ini artinya adalah serius dan penuh kesungguhan dalam masalah tersebut dan kesabaran luar biasa terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh seseorang dalam memperbaiki keluarganya dan dirinya dengan menjauhkan dari neraka dan dengan amal apa saja yang mendekatkan kepada perbaikan keluarga itu. Dan Allah menolong orang-orang yang saleh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan," (QS at-Tahrim [66]: 6).
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yaitu jauhkan dirimu dan keluargamu “istri-istrimu dan anak-anakmu …” dari neraka dengan taat kepada Allah Swt., engkau suruh kepada yang makruf dan engkau larang dari yang mungkar, engkau pelajari hukum-hukum agama kalian dan engkau ajarkan kepada keluargamu, engkau perbaiki dan engkau didik mereka serta engkau ajarkan mereka adab sesuai hukum-hukum syara’, jadi engkau suruh mereka melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan seluruh hukum-hukum-Nya.
Namun kini saat aturan-aturan Allah Swt. telah banyak diabaikan, keluarga Muslim sejati tidak akan pernah rida menyaksikan hal tersebut terus berlangsung.
Kesadaran posisinya sebagai bagian dari muslim yang lain dan bertanggung jawab bersama dalam menegakkan aturan Allah dalam setiap urusan, mendorong setiap keluarga Muslim untuk tidak berfikiran egois (ananiyah) yaitu hanya berjuang menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya.
Atas dasar iman bersama masyarakat dan negara wajib berupaya serius untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah yang akan senantiasa menjaga kebahagian suami-istri dalam wadah cinta dan kasih sayang. Insyaallah…
Wallahu a’lam bi al-shawab